Monday, February 25, 2013

Masjid Menara Kudus

Saya mengunjungi Masjid Menara Kudus pada lebaran tahun 2010
Kenapa saya ketempat ini ? dikarenakan ada tugas sejarah. tugasnya adalah "berkunjung ke tempat" bersejarah"
Saya mempunyai teman namanya intan yang mudik ke daerah demak dan kami janjian untuk ketemuan di Masjid Menara Kudus ini langsung untuk melangsungkan wawancara dengan orang-orang disekitar
Menara dan masjid kudus ini sudah banyak mengalami perubahan. bagian dalamnya masih beberapa, cuma ada beberapa kali perubahan (rehab) biar tetap terjaga. yang bisa sholat di masjid ini hanyalah kaum laki-laki. untuk perempuan sholat di tempat yang terpisah.

Keberadaan Masjid Menara Kudus ini tidak terlepas dari adanya Sunan kudus yang menyebarkan agama islam di kota ini. 
saya akan menceritakan tentang Masjid Menara Kudus ini , saya mendapat sumber ini dari beberapa buku yang saya beli disana.

Sunan Kudus
SIAPA SUNAN KUDUS ?
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam penyiaran dan penyebaran agama Islam di tanah Jawa, yang menjadi daerah operasinya para wali sembilan ialah daerah pesisir utara dari pulau Jawa sejak dari Gresik, Tuban, Ampel (Surabaya), Cirebon dan Banten. Hanya Demak dan Kudus yang jauh letaknya dari pesisir. Akan tetapi bagi Demak ketika itu berhubungan melalui laut tidaklah sulit, karena dengan mempergunakan sungai Demak yang mengalir terus ke arah barat sampai ke laut adalah merupakan jalan yang menghubungkan antara Demak dengan daerah pesisir lainnya. Demikian juga halnya dengan Kudus. Ada sungai yang menghubungkan ke laut sebelah barat ialah “Tanggulangin” dan ke arah Timur ialah sungai “Juwana”.  
  Dalam hal ini dikatakan bahwa Sunan Kudus itu mempelopori penyiaran agama Islam di sekitar Jawa Tengah sebelah utara. Sunan Kudus itu namanya ialah Ja’far Shodiq, dan ketika beliau memimpin rombongan jamaah haji mendapat gelar dengan julukan R. Amir Haji. Dan menurut setengah riwayat nama kecilnya ialah Raden Undung.
  Beliau adalah adik ipar dari Sunan Muria (R. Umar Said) karena Dewi Sujinah, isteri Sunan Muria adalah kakak kandung Sunan Kudus. Adapun menurut dongeng-dongeng dari nenek moyang kita yang hingga kini masih hidup di kalangan masyarakat setempat ialah, konon kabarnya pada jaman dahulu kala yang termasuk salah seorang tokoh tua di kota Kudus, sebelum Sunan Kudus ialah mbah Kyai Telingsing. Kyai Telingsing inilah yang kemudian mempercayakan serta menyerahkan kota Kudus kepada Sunan Kudus.
 
Beliau kini makamnya terdapat di kampung Sunggingan (Kudus); ada sementara orang yang mengatakan bahwa beliau itu adalah orang Tionghoa yang telah masuk Islam. Katanya Telingsing itu adalah singkatan dari nama Tionghoa : The Ling Sing. Beliau kabarnya adalah seorang pemahat yang termasuk dalam aliran Sung Ging. Dari nama Sungging inilah kemudiannya terjadi kata “nyungging” (memahat, mengukir), dan dari kata Sungging itu pulalah terjadinya nama kampung “Sunggingan” sekarang ini. 
 
ASAL USULNYA 
Sunan kudus atau Ja’far Shodiq itu ialah putera dari R. Usman Haji yang bergelar dengan Sunan Ngundung di Jipang Panolan ( ada yang mengatakan tempat tersebut terletak di sebelah utara Blora ). Usman Haji bin Raja Pendeta bin Ibrahim Asmarakandi (mungkin Asmarakandi ini dimaksudkan adalah dari kata Samarakand, sebuah kota di republik Uzbekistan). Ibrahim Asmarakandi bin Maulana Muhammad Jumadalkubra bin Zaini al Khusain bin Zaini al kubra bin Zainul Aliem bin Zainul Abidin bin Sayid Khusain bin Ali (suami Sitti Fatimah puteri Rasullah saw).
  Sunan Kudus kawin dengan Dewi Rukhil, puteri dari Makdum Ibrahim, Kanjeng Sunan Bonang di Tuban. R. Makdum Ibrahim putera R. Rahmad (sunan ampel) putera Maulana Ibrahim Asmarakandi , hingga disini bertemulah silsilah Sunan Kudus dengan istrinya. Dengan demikian maka Sunan Kudus itu adalah menantunya kanjeng Sunan Bonang. Dalam perkawinannya dengan Dewi Rukhil ini, Sunan Kudus hanya mendapatkan seorang putera laki-laki yang diberi nama Amir Hasan. Setengah riwayat mengatakan, bahwa dalam perkawinannya dengan puteri dari pangeran pecat tandaterung dari majapahit, sunan kudus dikabarkan memperoleh 8 orang putera 
Yaitu   :
1.Nyi Ageng Pembayun
2.Panembahan Palembang
3.Panembahan Mekaos Honngokusumo
4.Panembahan Kodhi
5.Panembahan Karimun
6.Panembahan Joko
7.Ratu Pakojo
8.Ratu Prodobinabar, yang kemudian kawin dengan Pangeran Poncowati (Panglima Perangnya Sunan Kudus)
Dintara kedelapan orang yang tersebut, hanya 4 orang yang kini makamnya dikenal orang di sekitar makam Sunan Kudus. Keempat orang itu adalah Panembahan Palembang, Panembahan Mekaos, Pangeran Poncowati dan Pangeran Sujoko.
Dilihat dari pengaruh yang sampai sekarang masih hidup di kalangan masyarakat Kudus, di duga Sunan Kudus berasal dari Persia. Atau setidaknya pasei (aceh)
  Sunan Kudus adalah seorang Guru Besar Agama. Beliau terkenal dengan keahliannya dalam ilmu agama, terutama dalam vak-vak Ilmu tauhid, usl, hadists, tafsir, sastera, mantiq, terutama vak-vak ilmu fikh. Karena itu di antara kesembilan wali hanya beliau yang terkenal sebagai “ Waliyul Ilmi”
  Selain memanggul senjata, Sunan kudus juga mengajar. Beliau terkenal juga sebagai pujangga yang berinisiatif mengarang riwayat-riwayat pondok yang berisi filsafat serta berjiwa agama. Di antara buah ciptaannya yang telah dikenal ialah Gending Maskumbang dan Mujil.
  Sunan Kudus tidak hanya bertindak sebagai guru agama tetapi juga sebagai mubaligh, guru dan senopati dari kerajaan bintoro demak.
 
Cara Sunan Kudus menyiarkan agama islam adalah seperti yang dijalankan wali-wali lainnya yaitu memakai jalan kebijaksanaan. Yang kita ketahui bahwa lembu (sapi) itu oleh orang buddha/hindu adalah sangat dihormati. Karena itu Sunan Kudus pernah mengikat seekor lembu di sekitar pekarangan masjid, sehingga banyak rakyat yang ketika itu masih memeluk agama hindu berbondong-bondong datang, kemudian sesudah mereka hadir, maka Sunan Kudus bertabligh dengan taktik dan cara demikian, sehingga akhirnya banyak diantara mereka yang memeluk agama islam.
  Setengah cerita mengatakan pula, bahwa semasa hidupnya Sunan Kudus melarang rakyat menyakiti ataupun memotong/menyembelih lembu, karena katanya pada suatu ketika pernah Sunan Kudus kehausan kemudian mendapatkan air susu dari seekor lembu.
Intinya tidak menyingggung perasaan dan kehormatan serta kepercayaan hidup orang Hindu/Buddha.
 
Semasa hidupnya Sunan Kudus telah berjasa mendirikan sebuah masjid Agung di kota Kudus, yang sekarang terkenal dengan sebutan Masjid Menara Kudus.   Berdasarkan tulisan yang ada di batu tulis yang terletak di atas tempat pengimaman masjid, masjid ini dibangun pada tahun 965 H . Batu tulis itu bertuliskan dan berbahasa Arab. Tulisannya mulai sukar di baca karena telah banyak huruf yang rusak. Batu ini berasal dari Baitulmakdis ( Al Quds ) di Yeruzalem ( Darussalam ) Palestina. Dari kata Baitulmakdis itulah terjadi nama :  Kudus yang berarti suci.
  Menurut keterangan dari Prof . Dr . R . Ng . Purbacaraka, diseluruh tanah Jawa hanya ada satu tempat saja yang di beri nama dalam bahasa Arab. Jadi hal ini merupakan keistimewaan dari kota kudus

     










Masjid menara ini terdiri dari 5 buah pintu sebelah kanan dan 5 buah pintu sebelah kiri. Jendelanya semua ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari pada 5 buah dan tiang besar di dalam masjid yang berasal dari kayu jati ada 8 buah. Tetapi masjid menara itu bukan sebesar sekarang pada jamannya Sunan Kudus. Pada waktu itu masjid tersebut masih kecil dan sederhana. Tempat khatib membaca khutbah pada hari jum’at adalah di atas mimbar yang terbuat dari kayu jati tetapi sekarang telah hilang entah kemana. Masjid agung itu yang asli telah di bongkar untuk kemudian dibuat yang besar seperti sekarang ini ialah pada akhir tahun 1918 sampai awal atau pertengahan tahun 1919. 
Ketika terjadi huruhara dimana umat Islam Kudus memuntahkan segala kemarahannya serta menunjukkan sifat keperwiraannnya dalam melawan golongan Tionghoa yang dianggap menghina serta melukai hati dan perasaan kaum muslimin ketika itu, yang mana golongan di atas pada waktu itu membuat leang-leong untuk membasmi wabah influenza, dengan membuat orang-orangan berpakaian haji  dan membawa ledek (pelacur) bercium-ciuman serta berjalan melalui depan Masjid Menara Kudus. Hal ini dianggap sebagai suatu tantangan yang perlu di jawab.
Akhirnya atas anjuran Kyai R Asnawi, di kerahkanlah sejumlah besar ummat Islam  di daerah Kudus untuk mengadakan perlawanan total terhadap golongan Tionghoa. Peristiwa tersebut meletus pada tanggal 31 Oktober – 1 November 1918.  Ketika itu ummat Islam sedang bekerja bakti untuk membangun kembali masjid wali yang telah di bongkar untuk di perbesar. Segala benda-benda yang terdapat di dalam masjid wali hingga kini tidak di buang, tetapi masih dipelihara dengan baik selain mimbar yang telah hilang.
Masjid ini kemudian diberi serambi depan yang dibangun pada tahun 1344 H . Ditambah dengan bangunan berupa serambi paling depan dengan gubah menurut style dari India, pada tanggal 5 november 1933 bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1352 H. Di sekeliling gubah dihias dengan nama-nama Rasul yang 25 jumlahnya

Kolam masjid yang terletak di sebelah selatan rupanya juga termasuk peninggalan jaman purba. Kolam mana berbentuk “padasan” tempat mengambil air wudhu. Rupanya pada jaman dahulu soal kebersihan sudah menjadi perhatian ketika itu. Kolam tersebut mempunyai lubang 8 buah. Di atasnya terdapat ukiran berbentuk kepala arca sebanyak 8 buah.
Ditilik dari kepala arca yang berjumlah 8 mengingatkan kita kepada salah satu pelajaran Budha yang pertama-tama diberikannya pada para siswa di Benares (India) ialah, “ASTASANGHIKAMARGA” Asta = delapan; sanghika = berlipat, dan marga = jalan. Jadi dalam perkataan lain astasanghikamarga itu berarti delapan jalan utama

 
8 jalan utama itu ialah :
1.Pengetahuan yang benar
2.Keputusan yang benar
3.Perkataan yang benar
4.Perbuatan yang benar
5.Cara penghidupan yang benar
6.Daya usaha yang benar
7.Meditasi yang benar, dan
8.Contemplasi yang benar = (suci - murni - luhur)

Didalam masjid terdapat 2 buah bendera yang terletak di kanan kiri tempat khatib membaca khutbah. Bender tersebut berwarna hijau tua, di sekelilingnya dihias dengan benag-benang sutera yang berwarna kuning keemasan. Panjang bendera kira-kira 1 m, dan lebar ½ m. Besar kemungkinan kedua bendera tersebut adalah bendera atau lambang kebesaran Sunan Kudus, atau pada jaman kewalian kemudiannya. Di dalam masjid itu terdapat sebuah pintu gapura kecil. Kemudian di serambi depan terdapat pula sebuah pintu gapura, yang dikenal oleh penduduk dengan sebutan “lawang kembar” konon kabarnya pintu gapura itu berasal dari bekas kerajaan majapahit dahulu, katanya gapura itu dulu di pakai sebagai pintu spion. Disebelah barat dari pintu gapura , di atas pintunya terdapat tulisan yang terukir dalam huruf Jawa Hanacaraka.
 
masih banyak yang dapat kita temukan di masjid menara kudus
mari mulai kunjungi tempat-tempat bersejarah di Indonesia. Banyak pengetahuan yang kita akan dapat darisana. 
save our nature, save our culture
cintai budaya dan pariwisata Indonesia :D




0 comments:

Post a Comment

 
;